Saturday 6 December 2014

Bukit azimut & legenda sangkuriang

DUA bukit yang mengapit Sungai Cisanggarung di Kec. Waled, Kab.
Cirebon, dipercaya sebagai bekas bendungan yang dibuat Sangkuriang
untuk membuat danau.* MUHTAR IT/”PR”
SELAMA ini, sebagian besar masyarakat selalu me-ngaitkan legenda
Sangkuriang dengan Gunung Tangkubanparahu yang ada di Bandung. Dengan
asumsi ini, setting legenda Sangkuriang tak jauh-jauh dari sekitar
Bandung. Padahal, legenda Sangkuriang juga hidup di Kuningan.
Bagi orang Jawa Barat, legenda Sangkuriang tentu sudah tak asing.
Legenda yang juga selalu dikaitkan dengan “sasakala” atau asal-muasal
terbentuknya Gunung Tangkubanparahu itu begitu mashurnya dan lekat
dengan dunia dongeng orang Sunda. Para orang tua selalu menjadikan
kisah Sangkuriang–bersama dengan Si Kabayan–sebagai pilihan pertama
saat bercerita kepada anak-anak mereka.

Legenda Sangkuriang seolah tak lekang oleh waktu. Dari generasi ke
generasi kisahnya dihidupkan, diberi beragam tafsir dan persepsi,
serta penambahan “bumbu” agar lebih menarik. Para orang tua seperti
tak bosan-bosan menceritakan kisah kasih tak sampai seorang anak
kepada ibunya itu. Demikian pula dengan para penulis, tak
henti-hentinya mengisah ulang (retelling the story) Sangkuriang, mulai
dari Saini KM, Utuy Tatang Sontani, A. Anjaya, R.A. Kosasih, hingga
penulis belia Femmy Syahrani.
Bagi beberapa kalangan, legenda Sangkuriang tak hanya sebatas kisah
berisi petuah dan ajaran moral. Lebih dari itu, legenda Sangkuriang
seolah sebuah “kitab suci” yang diyakini sebagai lakon nyata laku
nenek moyang orang Sunda. Tidaklah mengherankan jika sejumlah
“patilasan” atau tempat-tempat yang dipercaya menjadi persinggahan
para pelakon dalam legenda tersebut dianggap sebagai tempat suci dan
keramat. Selain mengeramatkan, lokasi yang menjadi setting kisah itu
pun kerap jadi bahan rebutan.
Legenda Sangkuriang memang kisah drama kehidupan yang tragis. Bagian
terpenting dari kisah itu adalah ketika Sangkuriang dewasa–karena
ketidaktahuannya–harus mencintai Dayang Sumbi, wanita cantik yang tak
lain dari ibu kandungnya sendiri. Dayang Sumbi yang menyadari bahwa
Sangkuriang adalah anaknya berusaha keras agar kisah cinta mereka tak
berlanjut hingga jauh, apalagi hingga pernikahan, karena akan
menghancurkan nilai-nilai moral. Permintaan kepada Sangkuriang agar
membuat perahu dan danau hanya semalam, tak lebih dari siasat yang
diyakini mustahil bisa dipenuhi Sangkuriang.
Akan tetapi, Sangkuriang bukanlah manusia biasa. Ia dikaruniai
kesaktian luar biasa. Ia juga termasuk manusia “pandai bergaul”,
sampai-sampai makhluk halus seperti jin dan raksasa pun tunduk patuh
kepadanya dan bersedia menghambakan diri kepada Sangkuriang. Dengan
bantuan para makhluk halus itulah, permintaan Dayang Sumbi, membuat
perahu dan membendung sungai menjadi danau hanya semalam, tak lebih
dari pekerjaan kecil yang extraordinary bagi Sangkuriang.
Pada titik inilah moral cerita legenda Sangkuriang ditampilkan, bahwa
percintaan antara ibu dan anak merupakan laku haram. Sangkuriang harus
gagal, apa pun caranya. Menyadari usahanya bakal sia-sia, Sangkuriang
sewot. Maklum anak muda, ditendangnya batang pohon yang hampir menjadi
perahu itu sekuat tenaga hingga melayang jauh dan jatuh nangkub
sehingga tampak seperti perahu terbalik (parahu nangkub). Dari
tendangan keras Sangkuriang inilah gunung Tangkubanparahu terbentuk.
Lantas, di mana sebenarnya lokasi kejadian Sangkuriang menendang
batang kayu yang belum selesai jadi perahu hingga membentuk gunung?
Selama ini, sebagian besar masyarakat selalu mengaitkan legenda
Sangkuriang dengan Gunung Tangkubanparahu yang ada di Bandung. Dengan
asumsi ini, setting legenda Sangkuriang tak jauh-jauh dari sekitar
Bandung. Padahal, legenda Sangkuriang juga hidup di Kuningan. Bahkan,
sebagian orang Kuningan, khususnya di Kecamatan Luragung, Cibingbin,
dan Cimahi, percaya bahwa legenda Sangkuriang terjadi di daerah
mereka. Untuk memperkuat klaim mereka, sejumlah bukti patilasan pun
ditunjukkan.
Seperti halnya Gunung Tangkubanparahu di Lembang, Bandung, di
Kecamatan Cimahi, Kab. Kuningan juga terdapat gunung yang bentuknya
sangat mirip dengan Tangkubanparahu di Lembang, yakni seperti perahu
terbalik (parahu nangkub, Sunda). Bahkan, namanya pun sama, Gunung
Tangkubanparahu. Bahkan, jika dilihat dari posisi yang sangat tepat,
biasanya diambil di Tanjakan Legok, Kec. Cimahi, Kab. Kuningan, gunung
Tangkubanparahu versi Kuningan memang tampak lebih menyerupai perahu
yang terbalik.
“Ya, kata orang-orang sih, Tangkubanparahu itu ada di Bandung. Itu
memang kata orang Bandung, tapi bagi saya, Tangkubanparahu ya ada di
sini, karena Sangkuriang juga dulunya ada di sini,” kata Dede (38),
warga Desa/Kecamatan Cimahi.
Tak sebatas gunung yang dijadikan bukti bahwa Sangkuriang adalah milik
orang Kuningan. Dede pun menunjuk suatu sungai. Namanya Sungai
Cisanggarung, yang lokasinya tak jauh dari Gunung Tangkubanparahu di
Kec. Cimahi. Sungai itu sekarang membelah sebuah bukit persis di
daerah perbukitan yang dijadikan lokasi pemasangan repeater PT Telkom,
masuk wilayah Kec. Waled, Kab. Cirebon, sekitar 20 km arah utara dari
Kota Kuningan. Warga setempat menyebutnya bukit Azimut. “Di sanalah,
Sangkuriang pernah membuat bendungan dan perahu, tapi kemudian gagal,”
kata Dede.
Lokasi yang populer dengan sebutan Maneungteung dan konon pernah
dijadikan lokasi bendungan inilah yang sekarang ramai dikunjungi
orang. Umumnya yang datang adalah remaja, sambil membawa pasangannya,
mereka biasanya bercengkerama di pinggir jalan yang bersisian dengan
aliran Sungai Cisanggarung. Beberapa di antaranya juga mencoba
menceburkan diri ke sungai. “Katanya sih air Sungai Cisanggarung bisa
memberi berkah,” ucap Dariah (35), warga Kec. Waled.
Menurut Dede, nama sungai Cisanggarung pun dipercaya ada kaitannya
dengan Sangkuriang. “Nama Sangkuriang itu kan sebenarnya berasal dari
Sang Guriang, manusia setengah makhluk halus. Kita saja yang
menyebutnya Sangkuriang,” kata Dede.
“Patilasan” lain yang jadi “bukti” bahwa Sangkuriang adalah milik
orang Kuningan adalah keberadaan “pasar siluman” yang berada di Desa
Cihurip, Kec. Ciawigebang. Pasar itu konon menjadi tempat berkumpulnya
para siluman yang pernah membantu Sangkuriang saat membuat perahu dan
membendung sungai Cisanggarung untuk dijadikan danau. Tiap malam-malam
tertentu, pasar itu tampak ramai oleh transaksi jual beli seperti
layaknya pasar di alam manusia. “Kita melihat mereka seperti manusia
saja, tapi sebenarnya mereka adalah siluman dan makhluk halus,” ujar
Dede.
Kalau begitu, mana yang benar, apakah legenda Sangkuriang milik
Bandung atau Kuningan? Tampaknya, kita akan sulit mencari
kebenarannya. Barangkali, tidaklah terlalu penting beradu argumentasi
hanya untuk menentukan siapa pemilik sah legenda Sangkuriang: Bandung
atau Kuningan. Yang paling penting adalah bagaimana kita menimba pesan
dan ajaran yang ada dalam legenda tersebut. Biarlah legenda itu tumbuh
dalam masyarakat kita sejalan dengan perkembangan imajinasi mereka.

No comments:

Post a Comment