Abstrak : Pendidikan sebagai transformasi budaya, diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Pendidikan
sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya
memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar
untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Tujuan
penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui tentang pendidikan
sebagai proses transformasi budaya. Metode yang digunakan adalah untuk
membangun suatu budaya dengan mewujudkan masyarakat yang baik serta
membangun peradaban studi pustaka. Hasil studi pustaka menyimpulkan
bahwa pendidikan sebagai proses transformasi budaya merupakan bentuk strategi kebudayaan yang paling efektif umat manusia yang selaras dengan cita-cita kemanusiaan.
Kata kunci : pendidikan, transformasi budaya
A. PENDAHULUAN
Transformasi
adalah pengalaman yang sedang berlangsung, seperti gerakan siklis
progresif di mana setiap siklus dimulai dengan sebuah pertemuan yang
menyebabkan ketidaknyamanan, ketegangan dan gangguan, diikuti dengan
pertanyaan dan refleksi kritis tentang diri dan pengalaman. Analisis
seperti sebuah pertemuan atau pengalaman mengarah ke kesadaran dan
pengakuan batas-batas beberapa praktek yang ada dan perspektif Dengan
demikian siklus baru dimulai. Pendidikan adalah usaha sadar yang
dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintahan. Melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di
luar sekolah sepanjang hayat Untuk mempersiapkan peserta didik agar
dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup Secara tepat di
masa yang akan datang ( Edgar Dalle ). Sebuah Pendidikan bertujuan
membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang
mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara
pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan. Sistem
persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi riang
penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan
masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang
diselenggarakan melalui-meskipun tidak hanya terbatas pada-sistem
persekolahan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan.
Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium
transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial
antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk
mengkukuhkan peradaban manusia. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai proses transformasi budaya.
B. METODE
Metode
yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi pustaka, dimana
penulis mencari sumber-sumber dari warnet untuk ditelaah.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. PENDIDIKAN SEBAGAI TRANSFORMASI BUDAYA
Pendidikan sebagai transformasi budaya, diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Daoed
Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena
pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal
hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini
adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah
keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukan
sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan
oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai maklhuk
bio-sosial. Karena itu, pendidikan harus hadir dan dimaknai sebagai pembentukan karakter (character building) manusia, aktualisasi kedirian yang penuh ihsan dan pengorbanan atas nama kehidupan manusia. Ada
tiga bentuk transformasi yaitu Nilai-nilai yang masih cocok diteruskan
misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain. Yang kurang cocok diperbaiki, Yang tidak cocok diganti.: Contohnya Budaya korup dan menyimpang adalah sasaran bidik dari pendidikan transformatif.
Segala
sesuatu yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat
itu sendiri. Baik buruknya perilaku atau sikap masyarakat juga
tergantung pada kebudayaan. Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang
secara kontinyu di taati dan diajarkan dari generasi ke generasi
berikutnya. Secara sadar atau tidak sadar secara terstruktur, masyarakat
melalui anggota-anggotanya akan mengajarkan kebudayaan. Proses mengajar
inilah disebut sebagai transformasi budaya atau pewarisan budaya.
Proses tranformasi budaya dapat dilakukan melalui ucapan,
sikap atau perilaku yang terpola (Anneahira.com content team ). Dengan
kata lain, transformasi kebudayaan dilakukan melalui proses belajar yang
selanjutnya bisa berupa sosialisasi dan enkulturasi.
a) Sosialisasi
Sosialisasi
adalah suatu proses sosial melalui mana manusia sebagai suatu organisme
yang hidup dengan manusia lain membangun suatu jalinan sosial dan
berinteraksi satu sama lain, untuk belajar memainkan peran dan
menjalankan fungsi, serta mengembangkan relasi sosial di dalam
masyarakat (Peter-Poole 2002). Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai
proses dimana seorang anak belajar menjadi anggota yang berpartisipasi
dalam masyarakat (Berger, 1978:116). Definisi ini disajikannya dalam
suatau pokok bahasan berjudul society in man; dari sini tergambar pandangannya bahwa melalui sosialisasi masyarakat dimasukkan ke dalam manusia.
Berdasarkan
jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam
keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua
proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal
dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah
individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam
jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang
terkukung, dan diatur secara formal.
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan
sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu
semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga).
Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat
anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan
lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya
dengan orang lain di sekitar keluarganya. Dalam tahap ini, peran
orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab
seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna
kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan
interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah
sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok
tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi.
Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang
baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami
'pencabutan' identitas diri yang lama.
Sosiologi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris.Sosialisasi represif (repressive socialization)
menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari
sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam
hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua.
Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi
perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan
orang tua, dan peran keluarga. Sosialisasi
partisipatoris(participatory socialization) merupakan pola di mana anak
diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan
bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan.
Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang
menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak.
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
· Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap
ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan
diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman
tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan
meniru meski tidak sempurna.
· Tahap meniru (Play Stage)
Tahap
ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan
peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai
terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya,
kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang
dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak.
Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang
lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial
manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari
orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi
pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma
dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang
amat berarti (Significant other).
· Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan
yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang
secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya
menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga
memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai
menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan
teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan
hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan
teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di
luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan
itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar
keluarganya.
· Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
Pada
tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan
dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat
bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi
dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari
pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama bahkan, dengan orang lain
yang tidak dikenalnya secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri
pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
Sosialisasi
dapat terjadi melalui interaksi social secara langsung ataupun tidak
langsung. Proses sosialisasi dapat berlangsung melalui kelompok social,
seperti keluarga, teman sepermainan dan sekolah, lingkungan kerja,
maupun media massa. Adapun media yang dapat menjadi ajang sosialisasi adalah keluarga, sekolah, teman bermain media massa dan lingkungan kerja.
1. Keluarga
Pertama-tama
yang dikenal oleh anak-anak adalah ibunya, bapaknya dan
saudara-saudaranya. Kebijaksanaan orangtua yang baik dalam proses
sosialisasi anak, antara lain : berusaha dekat dengan anak-anaknya,
mengawasi dan mengendalikan secara wajar agar anak tidak merasa
tertekan, mendorong agar anak mampu membedakan benar dan salah, baik dan
buruk, memberikan keteladanan yang baik, menasihati anak-anak jika
melakukan kesalahan-kesalahan dan tidak menjatuhkan hukuman di luar
batas kejawaran, menanamkan nilai-nilai religi baik dengan mempelajari
agama maupun menerapkan ibadah dalam keluarga. Menurut Gertrudge Jaeger,
peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal
sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya
terutama orang tuanya sendiri.
2. Sekolah
Pendidikan
di sekolah merupakan wahana sosialisasi sekunder dan merupakan tempat
berlangsungnya proses sosialisasi secara formal. Robert Dreeben
berpendapat bahwa yang dipelajari seorang anak di sekolah tidak hanya
membaca, menulis, dan berhitung saja namun juga mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universal) dan kekhasan / spesifitas (specifity).
3. Kelompok bermain
Kelompok bermain mempunyai pengaruh besar dan
berperan kuat dalam pembentukan kepribadian anak. Dalam kelompok
bermain anak akan belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya. Puncak
pengaruh teman bermain adalah masa remaja. Para remaja berusaha untuk
melaksanakan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku bagi kelompoknya
itu berbeda dengan nilai yang berlaku pada keluarganya, sehingga timbul
konflik antara anak dengan anggota keluarganya. Hal ini terjadi apabila
para remaja lebih taat kepada nilai dan norma kelompoknya.
4. Media massa
Media massa seperti media cetak, (surat kabar, majalah, tabloid) maupun mediaelektronik (televisi, radio, film dan video). Besarnya pengaruh media massa sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
1. Adegan-adegan yang berbau pornografi telah mengikis moralitas dan meningkatkan pelanggaran susila di dalam masyarakat .
2. Penayangan
berita-berita peperangan, film-film, dengan adegan kekerasan atau
sadisme diyakini telah banyak memicu peningkatan perilaku agresif pada
anak-anak yang menonton.
3. Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
5. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja merupakan media sosialisasi yang terakhir cukup kuat, dan efektif mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Lingkungan
kerja dalam panti asuhan , Orang yang bekerja di lingkungan panti
asuhan lama kelamaan terbentuk kepribadian dengan tipe memiliki rasa
kemanusiaan yang tinggi, sabar dan penuh rasa toleransi. Lingkungan
kerja dalam perbankan Lingkungan ini dapat membuat seseorang menjadi
sangat penuh perhitungan terutama terhadap hal-hal yang bersifat material dan uang.
b) Enkulturasi
Menurut Koentjaraningrat (1996 : 145-147), proses enkulturasi adalah proses
belajar menyusuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adat, sistem
norma, serta semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang.
Proses ini telah dimulai sejak awal kehidupan kemudian dalam lingkungan
yang makin lama makin meluas. Proses enkulturasi selalu
berlangsung secara dinamis. Wahana terbaik dan paling efektif untuk
mengembangkan ketiga proses sosial budaya tersebut adalah pendidikan,
yang terlembaga melalui sistem persekolahan. Sekolah merupakan wahana
strategis yang memungkinkan setiap anak didik, dengan latar belakang
sosial budaya yang beragam, untuk saling berinteraksi di antara sesama,
saling menyerap nilai-nilai budaya yang berlainan, dan beradaptasi
sosial. Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah
satu pilar penting yang menjadi riang penyangga sistem sosial yang lebih
besar dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat, untuk mewujudkan
cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang diselenggarakan
melalui-meskipun tidak hanya terbatas pada-sistem persekolahan
semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan (lihat artikel
Media Indonesia, 9/11/2009). Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium
transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial
antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk
mengukuhkan peradaban umat manusia. Paling kurang ada tiga argumen pokok
yang dapat dikemukakan.
Pertama,
Melalui pendidikan kemampuan kognitif dan daya intelektual individu
dapat ditumbuhkembangkan dengan baik. Kemampuan kognitif dan daya
intelektual ini sangat penting bagi individu untuk mengenali dan
memahami konsep kebudayaan suatu masyarakat yang demikian beragam, unik,
dan bersifat partikular. Instrumen yang relevan untuk menumbuhkan
apresiasi atas keanekaragaman budaya, antara lain melalui mata pelajaran
ke-susastraan dan kesenian. Sebab, keduanya merefleksikan dinamika
kebudayaan dan menggambarkan kekayaan khazanah budaya dan aneka jenis
kesenian di Nusantara. Di sekolah, semua siswa dapat mempelajari
kesusastraan Melayu, kesusastraan Jawa, atau kesusastraan
Bugis-Makassar. Mereka juga dapat mempelajari kesenian Aceh, kesenian
Minangkabau, atau kesenian Sunda. Dengan mempelajari kesusastraan dan
kesenian lintas etnik dan multikultur itu diharapkan dapat tumbuh
kesadaran kolektif sebagai sesama anak bangsa, meskipun mereka mempunyai
latar belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda, sehingga pada
akhirnya akan memperkuat kohesi sosial dan integrasi nasional.
Kedua,
melalui sistem persekolahan setiap anak dikenalkan sejak dini mengenai
pentingnya membangun tatanan hidup bermasyarakat, yang di dalamnya
terdapat berbagai macam entitas sosial. Sekolah adalah miniatur
masyarakat, karena di dalamnya ada struktur, status, fungsi, peran,
norma dan nilai. Sekolah menjadi sarana bagi setiap anak didik untuk
belajar memainkan peran dan menjalankan fungsi menurut posisi dan status
di dalam struktur sekolah itu. Dalam menjalankan peran dan fungsi,
setiap anak didik juga diajarkan mengenai makna tanggung jawab sosial.
Dalam konteks ini,mata pelajaran yang relevan antara lain pendidikan
kewargaan (civic education), karena setiap anak didik dibekali
pengetahuan dan pemahaman bagaimana menjadi warga negara yang baik.
Ketiga,
pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk memperkuat integrasi
sosial politik. Para penganut paham struktural-fung-sionalis meyakini
bahwa melalui proses sosialisasi dan enkulturasi, pendidikan memberi
kontribusi besar terhadap upaya merawat stabilitas sosial dan konsensus
politik. Di dalam sistem persekolahan, pendidikan dapat merangsang
tumbuhnya kesadaran sosial di kalangan anak-anak didik, bahwa mereka
adalah bagian integral sebagai warga bangsa dengan latar belakang sosial
budaya yang berlainan. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional merupakan warisan paling berharga dari para tokoh pergerakan
nasional, seperti Boedi Oetomo pada zaman sebelum kemerdekaan. Karena
kesadaran menjaga integrasi sosial politik itulah, maka pada Kongres
Pemuda para pelopor gerakan nasional yang kebanyakan berasal dari suku
Jawa, justru lebih memilih bahasa Indonesia, dan bukan bahasa Jawa,
sebagai bahasa nasional.
Argumen-argumen
yang dikemukakan di atas sesungguhnya sejalan dengan pandangan dan
pemikiran para filosof sosial klasik, seperti Emile Durkheim,
Jean-Jacques Rousseau, Johann Pesta-lozzi, atau John Dewey. Para pemikir
klasik itu bahkan menulis khusus mengenai tema-tema penting di bidang
pendidikan, yang kemudian menjadi rujukan standar bagi para pemikir
generasi selanjutnya.
D. PENDAPAT PENULIS
Berdasarkan Pemahaman
artikel diatas, Saya berpendapat bahwa Pendidikan sebagai transformasi
kebudayaan itu merupakan proses dimana individu dalam pengembangan
kepribadian dalam hal membudayakan diri yang berjalan dari generasi ke
generasi.
E. PENUTUP
KESIMPULAN
Dari hasil artikel diatas, dapat
saya simpulkan bahwa pendidikan merupakan bentuk strategi kebudayaan
yang paling efektif untuk membangun suatu budaya dengan mewujudkan
masyarakat yang baik, serta membangun peradaban umat manusia yang selaras dengan cita-cita kemanusiaan.
SARAN
Saran saya adalah tuntunlah pendidikan dengan proses
belajar yang yang baik, karena proses belajar merupakan cara untuk
mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi.
F. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Budaya dan Pendidikan (online). http://fikrieanas.wordpress.com/budaya-dan-pendidikan/ diakses Sabtu 1 oktober 2011. 6:10 PM
______. 2011. Sosialisasi (online). http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisasi diakses Sabtu 1 oktober 2011. 6:08 PM
_______.2011. Defenisi Pendidikan (online). http://duniabaca.com/definisi-pendidikan.html diakses Minggu 9 oktober 2011. 8:11 PM
Abraham Zakky. 2009. Sosialisasi dan Interaksi Sosial (online). http://abrahamzakky.blogspot.com/2009/02/proses-sosialisasi-dan-interaksi-sosial.html. diakse Minggu 9 oktober 2011. 7.32 PM
Amich Alhumami. 2010. Pendidikan Sebagai Medium Enkulturasi (online) .http:// Amich Alhumami.blogspot.com/2010/ wahana sekolah.html diakses Senin 3 oktober 2011.8:13 PMsumber : ( pengertian pendidikan )
No comments:
Post a Comment