Sunday 7 December 2014

arti pendidikan

Abstrak  : Pendidikan sebagai transformasi budaya,  diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai proses transformasi budaya. Metode yang digunakan adalah untuk membangun suatu budaya dengan mewujudkan masyarakat yang baik serta membangun peradaban studi pustaka. Hasil studi pustaka menyimpulkan bahwa pendidikan sebagai proses transformasi budaya merupakan bentuk strategi kebudayaan yang paling efektif umat manusia yang selaras dengan cita-cita kemanusiaan.
            Kata kunci : pendidikan, transformasi budaya

A.    PENDAHULUAN
Transformasi adalah pengalaman yang sedang berlangsung, seperti gerakan siklis progresif di mana setiap siklus dimulai dengan sebuah pertemuan yang menyebabkan ketidaknyamanan, ketegangan dan gangguan, diikuti dengan pertanyaan dan refleksi kritis tentang diri dan pengalaman. Analisis seperti sebuah pertemuan atau pengalaman mengarah ke kesadaran dan pengakuan batas-batas beberapa praktek yang ada dan perspektif Dengan demikian siklus baru dimulai. Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintahan. Melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat Untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup Secara tepat di masa yang akan datang ( Edgar Dalle ). Sebuah Pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan. Sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi riang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang diselenggarakan melalui-meskipun tidak hanya terbatas pada-sistem persekolahan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan merupakan  medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengkukuhkan peradaban manusia. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai proses transformasi budaya.

B.     METODE
Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi pustaka, dimana penulis mencari sumber-sumber dari warnet untuk ditelaah.

C.    HASIL DAN PEMBAHASAN

a.      PENDIDIKAN SEBAGAI  TRANSFORMASI  BUDAYA
Pendidikan sebagai transformasi budaya,  diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Daoed Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukan sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai maklhuk bio-sosial. Karena itu, pendidikan harus hadir dan dimaknai sebagai pembentukan karakter (character building) manusia, aktualisasi kedirian yang penuh ihsan dan pengorbanan atas nama kehidupan manusia. Ada tiga bentuk transformasi yaitu Nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab,   dan  lain-lain. Yang kurang cocok diperbaiki, Yang  tidak cocok diganti.: Contohnya Budaya korup dan menyimpang adalah sasaran bidik dari pendidikan transformatif.
Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri. Baik buruknya perilaku atau sikap masyarakat juga tergantung pada kebudayaan. Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan  yang secara kontinyu di taati dan diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya. Secara sadar atau tidak sadar secara terstruktur, masyarakat melalui anggota-anggotanya akan mengajarkan kebudayaan. Proses mengajar inilah disebut sebagai transformasi budaya atau pewarisan budaya. Proses tranformasi budaya dapat dilakukan melalui  ucapan, sikap atau perilaku yang terpola (Anneahira.com content team ). Dengan kata lain, transformasi kebudayaan dilakukan melalui proses belajar yang selanjutnya bisa berupa sosialisasi dan enkulturasi.
a)       Sosialisasi
Sosialisasi adalah suatu proses sosial melalui mana manusia sebagai suatu organisme yang hidup dengan manusia lain membangun suatu jalinan sosial dan berinteraksi satu sama lain, untuk belajar memainkan peran dan menjalankan fungsi, serta mengembangkan relasi sosial di dalam masyarakat (Peter-Poole 2002). Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai proses dimana seorang anak belajar menjadi anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Berger, 1978:116). Definisi ini disajikannya dalam suatau pokok bahasan berjudul society in man; dari sini tergambar pandangannya bahwa melalui sosialisasi masyarakat dimasukkan ke dalam manusia.
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya. Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya. Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.

      Sosiologi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris.Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga. Sosialisasi partisipatoris(participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak.

      George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
·                     Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
·                     Tahap meniru (Play Stage)
      Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other).
·                     Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
·                     Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
      Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama bahkan, dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.

Sosialisasi dapat terjadi melalui interaksi social secara langsung ataupun tidak langsung. Proses sosialisasi dapat berlangsung melalui kelompok social, seperti keluarga, teman sepermainan dan sekolah, lingkungan kerja, maupun media massa.  Adapun media yang dapat menjadi ajang sosialisasi adalah keluarga, sekolah, teman bermain media massa dan lingkungan kerja.

1.       Keluarga
         Pertama-tama yang dikenal oleh anak-anak adalah ibunya, bapaknya dan saudara-saudaranya. Kebijaksanaan orangtua yang baik dalam proses sosialisasi anak, antara lain : berusaha dekat dengan anak-anaknya, mengawasi dan mengendalikan secara wajar agar anak tidak merasa tertekan, mendorong agar anak mampu membedakan benar dan salah, baik dan buruk, memberikan keteladanan yang baik, menasihati anak-anak jika melakukan kesalahan-kesalahan dan tidak menjatuhkan hukuman di luar batas kejawaran, menanamkan nilai-nilai religi baik dengan mempelajari agama maupun menerapkan ibadah dalam keluarga. Menurut Gertrudge Jaeger, peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.

2.      Sekolah
         Pendidikan di sekolah merupakan wahana sosialisasi sekunder dan merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi secara formal. Robert Dreeben berpendapat bahwa yang dipelajari seorang anak di sekolah tidak hanya membaca, menulis, dan berhitung saja namun juga mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universal) dan kekhasan / spesifitas (specifity).

3.      Kelompok bermain
Kelompok bermain mempunyai pengaruh besar dan berperan kuat dalam pembentukan kepribadian anak. Dalam kelompok bermain anak akan belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya. Puncak pengaruh teman bermain adalah masa remaja. Para remaja berusaha untuk melaksanakan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku bagi kelompoknya itu berbeda dengan nilai yang berlaku pada keluarganya, sehingga timbul konflik antara anak dengan anggota keluarganya. Hal ini terjadi apabila para remaja lebih taat kepada nilai dan norma kelompoknya. 


4.      Media massa
         Media massa seperti media cetak, (surat kabar, majalah, tabloid) maupun mediaelektronik (televisi, radio, film dan video). Besarnya pengaruh media massa sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
1.      Adegan-adegan yang berbau pornografi telah mengikis moralitas dan meningkatkan pelanggaran susila di dalam masyarakat .
2.       Penayangan berita-berita peperangan, film-film, dengan adegan kekerasan atau sadisme diyakini telah banyak memicu peningkatan perilaku agresif pada anak-anak yang menonton.
3.      Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.

5.      Lingkungan Kerja
            Lingkungan kerja merupakan media sosialisasi yang terakhir cukup kuat, dan efektif mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang.  Lingkungan kerja dalam panti asuhan , Orang yang bekerja di lingkungan panti asuhan lama kelamaan terbentuk kepribadian dengan tipe memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, sabar dan penuh rasa toleransi. Lingkungan kerja dalam perbankan Lingkungan ini dapat membuat seseorang menjadi sangat penuh perhitungan terutama terhadap hal-hal yang bersifat material dan uang.

b)     Enkulturasi
Menurut Koentjaraningrat (1996 : 145-147), proses enkulturasi adalah  proses belajar menyusuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adat, sistem norma, serta semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang. Proses ini telah dimulai sejak awal kehidupan kemudian dalam lingkungan yang makin lama makin meluas.  Proses enkulturasi selalu berlangsung secara dinamis. Wahana terbaik dan paling efektif untuk mengembangkan ketiga proses sosial budaya tersebut adalah pendidikan, yang terlembaga melalui sistem persekolahan. Sekolah merupakan wahana strategis yang memungkinkan setiap anak didik, dengan latar belakang sosial budaya yang beragam, untuk saling berinteraksi di antara sesama, saling menyerap nilai-nilai budaya yang berlainan, dan beradaptasi sosial.  Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi riang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang diselenggarakan melalui-meskipun tidak hanya terbatas pada-sistem persekolahan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan (lihat artikel Media Indonesia, 9/11/2009). Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan peradaban umat manusia. Paling kurang ada tiga argumen pokok yang dapat dikemukakan.
Pertama, Melalui pendidikan kemampuan kognitif dan daya intelektual individu dapat ditumbuhkembangkan dengan baik. Kemampuan kognitif dan daya intelektual ini sangat penting bagi individu untuk mengenali dan memahami konsep kebudayaan suatu masyarakat yang demikian beragam, unik, dan bersifat partikular. Instrumen yang relevan untuk menumbuhkan apresiasi atas keanekaragaman budaya, antara lain melalui mata pelajaran ke-susastraan dan kesenian. Sebab, keduanya merefleksikan dinamika kebudayaan dan menggambarkan kekayaan khazanah budaya dan aneka jenis kesenian di Nusantara. Di sekolah, semua siswa dapat mempelajari kesusastraan Melayu, kesusastraan Jawa, atau kesusastraan Bugis-Makassar. Mereka juga dapat mempelajari kesenian Aceh, kesenian Minangkabau, atau kesenian Sunda. Dengan mempelajari kesusastraan dan kesenian lintas etnik dan multikultur itu diharapkan dapat tumbuh kesadaran kolektif sebagai sesama anak bangsa, meskipun mereka mempunyai latar belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda, sehingga pada akhirnya akan memperkuat kohesi sosial dan integrasi nasional.

Kedua, melalui sistem persekolahan setiap anak dikenalkan sejak dini mengenai pentingnya membangun tatanan hidup bermasyarakat, yang di dalamnya terdapat berbagai macam entitas sosial. Sekolah adalah miniatur masyarakat, karena di dalamnya ada struktur, status, fungsi, peran, norma dan nilai. Sekolah menjadi sarana bagi setiap anak didik untuk belajar memainkan peran dan menjalankan fungsi menurut posisi dan status di dalam struktur sekolah itu. Dalam menjalankan peran dan fungsi, setiap anak didik juga diajarkan mengenai makna tanggung jawab sosial. Dalam konteks ini,mata pelajaran yang relevan antara lain pendidikan kewargaan (civic education), karena setiap anak didik dibekali pengetahuan dan pemahaman bagaimana menjadi warga negara yang baik. 

Ketiga, pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk memperkuat integrasi sosial politik. Para penganut paham struktural-fung-sionalis meyakini bahwa melalui proses sosialisasi dan enkulturasi, pendidikan memberi kontribusi besar terhadap upaya merawat stabilitas sosial dan konsensus politik. Di dalam sistem persekolahan, pendidikan dapat merangsang tumbuhnya kesadaran sosial di kalangan anak-anak didik, bahwa mereka adalah bagian integral sebagai warga bangsa dengan latar belakang sosial budaya yang berlainan. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan warisan paling berharga dari para tokoh pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo pada zaman sebelum kemerdekaan. Karena kesadaran menjaga integrasi sosial politik itulah, maka pada Kongres Pemuda para pelopor gerakan nasional yang kebanyakan berasal dari suku Jawa, justru lebih memilih bahasa Indonesia, dan bukan bahasa Jawa, sebagai bahasa nasional.

Argumen-argumen yang dikemukakan di atas sesungguhnya sejalan dengan pandangan dan pemikiran para filosof sosial klasik, seperti Emile Durkheim, Jean-Jacques Rousseau, Johann Pesta-lozzi, atau John Dewey. Para pemikir klasik itu bahkan menulis khusus mengenai tema-tema penting di bidang pendidikan, yang kemudian menjadi rujukan standar bagi para pemikir generasi selanjutnya.

D.    PENDAPAT PENULIS
Berdasarkan  Pemahaman artikel diatas, Saya berpendapat bahwa Pendidikan sebagai transformasi kebudayaan itu merupakan proses dimana individu dalam pengembangan kepribadian dalam hal membudayakan diri yang berjalan dari generasi ke generasi.

E.     PENUTUP

*      KESIMPULAN
Dari hasil artikel diatas,  dapat saya simpulkan bahwa pendidikan merupakan bentuk strategi kebudayaan yang paling efektif untuk membangun suatu budaya dengan mewujudkan masyarakat yang baik,  serta membangun peradaban umat manusia yang selaras dengan cita-cita kemanusiaan.
*         SARAN
Saran saya adalah tuntunlah pendidikan dengan  proses belajar yang yang baik, karena proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi.
F.     DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Budaya dan Pendidikan (online). http://fikrieanas.wordpress.com/budaya-dan-pendidikan/ diakses Sabtu 1 oktober  2011. 6:10 PM
______. 2011. Sosialisasi (online). http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisasi diakses  Sabtu 1 oktober  2011. 6:08 PM
_______.2011. Defenisi Pendidikan (online). http://duniabaca.com/definisi-pendidikan.html  diakses Minggu 9 oktober 2011. 8:11 PM
Abraham Zakky. 2009. Sosialisasi dan Interaksi Sosial (online). http://abrahamzakky.blogspot.com/2009/02/proses-sosialisasi-dan-interaksi-sosial.html. diakse Minggu 9 oktober  2011. 7.32 PM
Amich Alhumami. 2010. Pendidikan  Sebagai Medium Enkulturasi  (online) .http:// Amich Alhumami.blogspot.com/2010/ wahana sekolah.html diakses  Senin  3 oktober 2011.8:13 PM
sumber : ( pengertian pendidikan )

No comments:

Post a Comment